Menu
Lets Bright Together!

Jangan Buka Aibku Ya Allah: Hikmah Jum’at

JANGAN BUKA AIBKU YA ALLAH

 

Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf: 179)

Dalam Kitab Bihar al Anwar ada satu riwayat yang menceritakan tentang bagaimana Allah Yang maha Rahman dan Rahim masih menutupi aib kita di hadapan saudara kita yang lainnya.

Tatkala Imam Ja’far al Shadiq beliau merupakan salah seorang cicit Nabi Muhammad, selesai  melakukan tawafnya, beliau beristirahat di pelataran Masjid al Haram. Beliau duduk dan menundukkan kepala serta menangis tersedu-sedu. Ternyata apa yang sedang dialami oleh Imam Ja’far diperhatikan oleh salah seorang jema’ah yang juga sedang melaksanakan tawaf.

Setelah selesai melaksanakan tawaf, orang yang selalu memperhatikan Imam Ja’far tersebut menghampiri Imam Ja’far dan ternyata orang tersebut belum mengenal siapa itu Imam Ja’far al Shadiq. Orang tersebut bertanya kepada Imam Ja’far, wahai tuan! Dari tadi saya melihat tuan duduk dengan menundukkan kepala dan terus menangis, apa yang sedang tuan alami? Imam Ja’far menjawab: apa yang aku alami berbeda dengan yang anda alami. Ternyata jawaban Imam Ja’far tersebut tidak membuatnya menjadi puas. Orang tersebut kembali bertanya: Apa maksud tuan? Seharusnya tuan bangga bahwa sekarang ini sudah banyak umat Islam yang mampu melaksanakan ibadah haji!

Kembali Imam Ja’far menundukkan kepala dan terus menangis mendengar ungkapan tersebut. Lalu Imam Ja’far mengusap mata orang tersebut seraya berkata “Ya Saatirol ‘Uyub, Ya Qabilat Taub, Ya Ghafirodz Dzunub”. Kemudian Imam Ja’far melepaskan tangannya yang selalu menolong orang-orang yang terzolimi dari muka orang yang ada di sampingnya.

Imam Ja’far al Shadiq terus menunduk dan menangis melihat fenomena yang ada di Masjid al Haram, maka orang yang terus bertanya kepada Imam Ja’far setelah diusapkan matanya, beliau hampir saja pingsan karena tak sanggup melihat apa yang ada di hadapannya. Orang tersebut berteriak ketakutan dan meminta Imam Ja’far untuk mengembalikan penglihatannya ke semula.

Setelah Imam Ja’far mengembalikan penglihatannya, orang tersebut kembali bertanya: wahai tuan apa sebenarnya yang saya lihat tadi? Saya banyak sekali melihat binatang yang melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah, mereka mengotori Ka’bah dengan perangainya yang jelek. Mereka injak-injak tempat sujudnya Rasul dengan kaki-kaki mereka yang penuh dengan najis. Mereka basahi Masjid al Haram dengan pertumpahan darah. Siapa mereka? Dan apa yang sebenarnya sedang terjadi? Dalam pikiran orang tersebut banyak sekali pertanyaan yang belum terjawabkan.

Dengan tenang dan bersahaja Imam Ja’far menjawab pertanyaan orang tersebut. Apa yang baru saja anda lihat, itulah sebenarnya aktualisasi amal manusia. Anda melihat banyak sekali binatang yang tawaf, sujud di Masjid al Haram yang mulia ini. Banyak sekali anda lihat manusia dengan kepala binatang, ada yang berkepala kuda, babi, kera dan ayam jantan. Semua itu tak lain disesuaikan dengan aktifitasnya selama mereka hidup.

Allah adalah Rab Yang Maha Rahman dan Maha Rahim, dengan al Rahman dan al Rahim-Nya aib kita ditutupi, sehingga teman, tetangga, saudara, keluarga bahkan istri dan anak kita sendiri tidak mengetahuinya. Mereka tidak mengetahui kejahatan apa yang telah kita perbuat, karena Allah selalu menutupi aib kita. Allah tidak mau aib kita diketahui oleh orang lain. Oleh karenanya saya menangis dan tak sanggup melihat mereka. Karena mereka datang ke tanah al Haram ini dengan perangai Jeleknya. Ada yang datang dengan keangkuhan, ada yang datang dengan kekufuran, ada yang datang dengan kezaliman dan sebagainya.

Uraian riwayat di atas banyak sekali memberikan pelajaran bagi kita, kita diajak untuk berfikir tentang apa yang telah diperbuat. Dalam riwayat di atas dijelaskan ada manusia dengan kepala binatang, ada yang kepalanya kuda, babi, kera dan ayam jantan. Semua itu sebenarnya merupakan simbol dari amal yang telah kita perbuat. Setiap binatang tersebut mempunyai makna yang akan mengingatkan kepada kita akan pentingnya berbuat baik.

Binatang kuda, kalau kita perhatikan bagaimana perilaku kuda pastilah akan membuat kita malu untuk menirunya. Kuda adalah binatang yang angkuh, kuda akan berlari dengan kencangnya, berjalan dengan gaya yang indah, menganggukkan kepalanya di hadapan binatang yang lainnya. Kuda selalu mempertontonkan kehebatan, ketangguhan, keperkasaannya. Kuda adalah lambang binatang yang selalu menyombongkan dirinya.

Di sekitar kita masih ditemui manusia seperti kuda, mereka mempertontonkan kekayaan, kekuasaan, kehebatan mereka di hadapan manusia yang lain. Manusia seperti ini tidak merasa malu karena mereka mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dengan kekayaan, mereka sombongkan di hadapan orang yang miskin. Dengan kekuasaan, mereka sombongkan di hadapan orang yang terzolimi. Dengan kehebatan, mereka sombongkan di hadapan orang yang lemah.

Binatang babi, kita perhatikan babi adalah binatang yang kotor. Babi hidup dalam satu kandang yang kotor, dalam kandang itu juga babi menghidupi semua anaknya, mereka makan dari kotoran yang mereka keluarkan sendiri. Mereka berkubang dalam satu kandang yang kotor.

Hal ini adalah lambang dari orang yang hidupnya dari satu “kandang yang kotor”. Masih banyak manusia (baca: orang tua) yang menghidupi keluarganya dari hasil yang kotor. Mereka berusaha dengan cara yang kotor, seperti mencuri, manipulasi, korupsi, pungli, menipu dan sebagainya. Uang yang mereka hasilkan tersebut kemudian diberikan kepada anak dan istrinya. Berusaha dari tempat yang kotor, menghasilkan penghasilan yang kotor dan akhirnya melahirkan keturunan yang kotor dan akan terus bergumul dengan kekotoran.

Binatang kera, ini merupakan lambang binatang yang tidak pandai bersyukur atas nikmat. Kita perhatikan bagaimana kehidupan kera sehari-harinya. Jika kita kasih makanan kepada seekor kera, maka dia akan meminta lagi. Belum lagi habis pisang di tangan kanannya, maka akan diambilnya pisang kedua dengan tangan kirinya, setelah itu dengan kakinya dan seterusnya, yang lebih menyakitkan lagi adalah setelah habis pisang tersebut, kera akan meninggalkan kita dengan membelakangi (baca: memberikan pantatnya).

Ada manusia dengan perangai kera di sekitar kita. Mereka mencari nikmat Allah tidak mengenal waktu. Hari-harinya dihabiskan hanya untuk mengais nikmat Allah, tidak ada lagi waktu yang tersisa untuk bersyukur atas segala nikmat tersebut. Setelah Allah berikan nikmat kepada mereka, maka mereka akan meninggalkan Allah. Bahkan mereka itu tidak mau mengeluarkan zakat, sedekah ataupun infaq. Mereka adalah manusia yang tidak pandai bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah karuniakan kepada mereka dan mereka itu laksana manusia yang berkepala kera.

Binatang ayam jantan, binatang ini adalah lambang dari binatang yang selalu menghamburkan sahwatnya. Kita perhatikan bagaimana perilaku ayam jantan, pagi hari dia keluar dari kandangnya, maka yang pertama dicari adalah ayam betina. Setelah nafsunya tersebut tersalurkan barulah dia mengais nafkah untuk makan.

Di tengah-tengah kita masih ditemui manusia yang tiap harinya hanya memuaskan hawa nafsu pada tempat yang diharamkan Allah. Tiap hari yang dicari hanyalah untuk memuaskan nafsu sahwatnya saja tidak lebih. Dan manusia seperti ini tidak lebih dari manusia berkepala ayam jantan.

Kalaulah Allah tidak menutupi aib kita, maka niscaya bumi ini akan sepi. Tidak ada manusia yang mau jalan-jalan keluar, apalagi jalan-jalan dengan mobil hasil korupsi. Karena kita akan melihat banyak sekali manusia dengan kepala binatang. Hanya dengan al Rahman dan al Rahim-Nya, kita masih bisa berjalan dengan aib yang selalu kita perbuat. Ya Saatirol ‘Uyub, Ya Qabilat Taub, Ya Ghafirodz Dzunub. Ighfir Dzunubana Ajma’in Bi Rahmatika Ya Arhamar Rahimiin.