Rintik hujan menggelitik air mata ku
Air mata yang telah menjadi karang di tengah lautan
Dahulu selalu mengalir deras seperti niagara
Kini jengah dan lelah telah merambah
Sementara terik mentari di siang bolong memekik
Memekakkan hati yang telah beku dan membiru
Memar memendar tak akan pernah pudar
Karena luka itu abadi meski mentari tak tersenyum lagi
Ingin ku bersandar pada lengan sang kaki langit
Seraya berbaring terbelai dengan birunya ombak lautan
Tangan ini lemah kecil tak berdaya mana mampu aku berbuatnya
Sedang kaki menopang lemah sudah tak seramah senyum penduduk desa
Kau senyum aku tertawa
Kau tertawa aku merana memikirkan duka lara
Kuncup malam wangi baunya
Tujuh pesona di dalam segitiga tak bertuan
Aku masuk dengan taring dan tanduk merah warnanya
Kau sebut melati ternyata mawar merah berduri
Datang dengan tri sula pamungkas mu
Berjubah panjang lebar merah warna ronanya
Sakit sesak terasa di dada bidangku
Aku merintih orang menangis
Aku terbang aku melayang ke dalam barzah abadi