A. Pengertian Wadiah
Mengingat harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau menurut etimologi, wadiah berarti meninggalkannya. Secara bahasa, wadiah diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
Praktik perbankan, wadiah adalah konsep dimana pemilik dana menyimpan uang untuk dijaga oleh bank. Bank kemudian akan meminta izin untuk menggunakan dana tersebut, segala keuntungan dan risiko akibat dari penggunaan dana itu akan ditanggung oleh pihak bank. Pemilik dana diberi kebebasan untuk mengambil kembali dana, baik sebagian atau seluruhnya tanpa waktu yang ditentukan.
Barang yang dititipkan disebut ida’, yang menitipkan disebut mudi’ dan yang menerima titipan disebut wadi. Pengertian istilah wadi’ah adalah akad antara pemilik barang (mudi’) dengan penerima titipan (wadi’) untuk menjaga harta/modal (ida’) dari kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta.
B. Dasar Hukum Wadiah
1. Al-Qur’an`
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (Titipan) kepada yang berhak menerimanya dan dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hokum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah Maha memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS An-Nisa : 58).
Artinya:“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhan-Nya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”(QS. Al-Baqarah (2):283)
2. Al-Hadits
عَن اَبِى هُرَيرَةَ قَالَ : قَالَ النَبِى صَلَي اللهُ عَليهِ وَسَلَم ادالامَانَهُ اِلَى من ائتَمَنَكَ وَلاَ تَخُن مِن خَانكَ
Artinya:Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “ Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu (HR Abu Daud dan Tarmizi hadits ini hasan, sedang Imam Hakim mengkategorikan sahih)
3. Ijma
Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan ijma (konsensus) terhadap legitimasi wadi’ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat, seperti dikutip oleh Dr.Azzuhaily dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu dari kitab al-Mughni wa Syarh Kabir li Ibni Qudhamah dan mubsuth li Imam Sarakhsy.
Pada dasarnya, penerima simpanan adalah yad amanah (tangan amanah), artinya ia tidak bertanggungjawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada asset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerebohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena faktor-faktor di luar batas kemampuan). “ Jaminan pertanggungjawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalahgunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.”
Aktivitas perekonomian modern, penerima simpanan tidak mungkin akan mengidlekan aset tersebut, tetapi mempergunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu. Karenanya, harus meminta izin dari pemberi titipan untuk kemudian mempergunakan hartanya tersebut dengan catatan menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh. Bukan lagi yad amanah, tetapi yad adh dhamanah (tangan penanggung) yang bertangggung jawab atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang tersebut.
C. Fatwa DSN Tentang Wadiah
Setelah menimbang atas segala konsekuensinya, maka Dewan Syariah Nasional (DSN) memandang perlu menetapkan fatwa tentang bentuk-bentuk mu’amalah syari’ah untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan dan operasional perbankan.
Wadiah merupakan salah satu prinsip yang dibenarkan oleh DSN yang dijadikan sebagai landasan operasional produk perbankan Syariah. Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah yaitu giro dan tabungan. Giro dan tabungan merupakan produk perbankan dibidang penghimpunan dana dari masyarakat. Namun kegiatan tabungan dan giro tidak semuanya dapat dibenarkan oleh hukum Islam (syari’ah). Berdasarkan keputusan DSN, Giro dan tabungan yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadiah.
Aplikasi wadi’ah dalam perbankan, sebagaimana dijelaskan di atas, paling tidak secara fungsional, dikategorikan menjadi dua, yaitu : pertama, sebagai titipan, yang sering digunakan dalam bentuk giro dan tabungan. Sedangkan kedua, sebagai investasi.
Pada kedua produk (giro dan tabungan), wadi’ah diaplikaskan dalam bentuk akad yad adh-dhamanah, pihak bank dapat memanfaatkan dan menggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan bagi penitip, penitip akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya. Tapi walaupun demikian pihak penerima titipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal persentase.
Sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah:
1. Bersifat titipan,
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call)
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan wadiah adalah :
1. Bersifat simpanan
2. Simpanan biasa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadiah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase. Bentuk ini termasuk dalam kategori fungsional kedua, yaitu wadi’ah investasi.
Berdasarkan keterangan di atas, wajar saja ketika wadi’ah dianggap sebagai produk yang sangat berpotensi untuk mendulang keuntungan besar bagi pihak bank pada khususnya, walaupun tidak menutup kemungkinan juga, resiko tetap menanti. Terutama wadi’ah yang berfungsi hanya sebagai titipan dan sering digunakan oleh produk giro dan tabungan dengan menggunakan akad yad ad-dhomanah. Konsekuensi dari penggunaan prinsip ini adalah ketiadaan sistem bagi hasil dari bank untuk nasabah. Bank berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam kegiatan-kegiatan komersial dan bukan merupakan unsur keuntungan yang harus dibagikan.
Sehingga dari kacamata fikih, untuk sementara, penulis menyimpulkan tidak ada masalah mengenai aplikasi wadi’ah pada produk giro dan tabungan, sebagaimana yang difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.
D. Rukun dan Syarat Wadiah
a. Rukun Wadiah
Wadiah memiliki beberapa rukun yaitu;
1. Barang yang disimpan/dititipkan (Wadiah)
2. Pemilik barang/uang sebagai pihak yang menitipkan (Muwaddi’)
3. Pihak yang menyimpan atau memberikan jasa (Mustawda’)
4. Ijab qabul (Sighat)
b. Syarat Wadiah
1. Menurut Ulama Hanafiyah, yang menjadi syarat bagi kedua belah pihak yang melakukan akad: orang yang berakal, sedangkan menurut jumhur ulama pihak yang melakukan transaksi Wadiah disyaratkan telah baligh, berakal, cerdas.
2. Syarat kedua akad wadiah adalah bahwa barang titipan itu jelas dan boleh dikuasai.
Disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/ tangannya secara nyata. Yang dimaksud dengan syarat rukun di sini adalah persyaratan yang harus di penuhi oleh rukun wadiah. Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada Muwaddi’ (Pemilik barang/uang sebagai pihak yang menitipkan), wadii’ (Orang yang dititipi barang) dan wadi’ah (Barang yang disimpan/dititipkan). Muwaddi’ dan wadii’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus balig, berakal dan dewasa.
Karena wadiah termasuk akad yang tidak lazim, maka kedua belah pihak dapat membatalkan perjanjian akad ini kapan saja. Karena dalam wadiah terdapat unsur permintaan tolong, maka memberikan pertolongan itu adalah hak dari wadii’. Kalau tidak mau, maka tidak ada keharusan untuk menjaga titipan.
Namun kalau wadii’ mengharuskan pembayaran, semacam biaya administrasi misalnya, maka akad wadiah ini berubah menjadi “akad sewa” (ijaroh) dan mengandung unsur kelaziman. Artinya wadii’ harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadii’ tidak dapat membatalkan akad ini secara sepihak karena dia sudah dibayar.
E. Jenis Wadiah
1. Wadiah Yad Amanah
Wadiah Yad Amanah adalah akad penitipan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan.
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
2. Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
3. Sebagai kompensasi penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan.
4. safe deposit box.
Mekanisme seperti di atas dapat digambarkan dalam diagram berikut ini:
Skema Wadiah Yad Amanah
Keterangan
Dengan konsep wadiah yad amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
2. Wadiah Yad Adh Dhamanah
Wadiah Yad Adh Dhamanah adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan/tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan.
Wadiah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Harta atau barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh orang yang menerima titipan.
2. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tentu menghasilkan manfaat. Walau demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada penitip.
3. Sebagai konsekuensi, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik pihak yang dititipkan (demikian juga menanggung seluruh kemungkinan kerugian).
4. Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah giro dan tabungan.
5. Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan manajemen bank syariah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.
Mekanisme wadiah yad adh-dhamanah dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:
Skema Wadiah Yad Adh Dhamanah
Keterangan:
Konsep wadiah yad adh dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Tentu, pihak bank dalam hal ini mendapatkan hasil dari penggguna dana. Bank dapat memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk bonus.
F. Perubahan Akad Wadiah dari Amanah Menjadi Adh-Dhamanah
Berkaitan dengan sifat akad wadi’ah sebagai akad yang bersifat amanah, yang imbalannya hanya mengharap ridha Allah, para ulama fiqh juga membahas kemungkinan perubahan sifat akad al wadi’ah dari sifat amanah menjadi sifat ad-dhamah (ganti rugi). Para ulama fiqh mengemukakan beberapa kemungkinan tentang hal ini, yakni :
1. Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Apabila seseorang merusak barang itu dan orang yang di titipi tidak berusaha mencegahnya, padahal penitip mampu, maka dianggap melakukan kesalahan, karena memelihara barang itu merupakan kewajiban baginya. Atas kesalahan ini penitip dikenakan ganti rugi.
2. Barang titipan itu diterima oleh penerima titipan kepada orang lain (pihak ketiga) yang bukan keluarga dekat dan bukan pula menjadi tanggung jawabnya. Resiko tetap ditanggung pihak kedua (penerima titipan) tersebut. Apabila barang itu hilang atau rusak, dalam kasus seperti ini, orang yang dititipi dikenakan ganti rugi.
3. Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi. Jika barang titipan tersebut rusak ketika digunakan/dimanfaatkan oleh pihak yang dititipi, maka pihak yang dititipi tersebut wajib mengganti kerusakan yang ditimbulkan meskipun kerusakannya diluar kekuasaan. Karena barang titipan itu di titipkan hanya untuk dipelihara saja, dengan demikian pemanfaatan barang titipan dianggap suatu penyelewengan.
4. Orang yang dititipi mengingkari wadi’ah itu. Para ulama sepakat apabila pemilik barang meminta kembali barang titipannya kepada orang yang di titipi, lalu orang yang dititipi menolak tanpa alasan yang jelas, maka penitip dikenakan ganti rugi.
5. Orang yang dititipi mencampurkan barang titipan dengan harta pribadinya, sehingga sulit untuk di pisahkan.
6. Orang yang dititipi melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan, maka penitip di kenakan ganti rugi, kecuali syarat seperti tempat pemindahannya sama dengan syarat-syarat yang di kemukakan penitipan barang.
7. Barang titipan dibawa bepergian jauh.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, M.Syafi’i, Bank syariah: Dari Teori ke Praktik, Gema Insani: Jakarta. 2006
Abu Daud, Sunan Abi Daud, Juz. 4 (Suriyah: Dar Al-Hadits), Cet. Ke-1 Dan Tarmizi, Al-, Muhammad Mahfudz ibn ‘Abdillah, Manhaj Dzawi Al-Nazhr (Jeddah: Al-Haramain, 1974)
Htt://Artikel Wikipedia, Perbankan Syariah, Harian Rabu. 2009
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Rajawali Pres: Jakarta. 2011
Buchori, Nur S, Koperasi Syariah, Kelompok Masmedia Buana Pustaka: Sidoarjo.2009
Fauzan M, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Kencana: Jakarta. 2009
Hasan, Zubairi, Undang-undang Perbankan Syariah: Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2009
Hendry, Perbankan Syariah Praktisi, Muamalat Institut. 2000
http://dc183.4shared.com/doc/a6fOdwVD/preview.html
Karim, Adiwarman A, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. 2004
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalat, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. 2002
Suma, Muhammad Amin, Ekonomi dan Keuangan Islam, Kholam Publishing: Jakarta. 2008
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, Ekonisia: Jakarta. 2005
Saifuddin, Azwar, Metode Penilitian, Pustaka Pelajar Offset: Yogyakarta. 1999