Hukum Bantuan Non Muslim
Hubungan Muslim dengan Non Muslim
Sebelum masuk kepada hukum Non Muslim memberikan bantuan/sedekah terlebih dahulu akan diuraikan dengan singkat tentang komunikatif dan kooperatif hubungan muslim dengan Non Muslim.
Hubungan muslim dengan non muslim ini dibagi dalam dua macam yaitu secara umum dan secara khusus. Secara umum seorang muslim diperbolehkan berkomunikatif dan berkooperatif antara lain dalam hal-hal:
a. Berlaku baik dan adil kepada orang-orang bukan muslim sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Mumtahanah ayat : 8
Artinya : Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
b. Mengadakan perjanjian dengan orang-orang non muslim
c. Berlaku hati-hati terhadap orang-orang non muslim, terutama kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Firman Allah surat Al-Maidah ayat 49 :
Artinya : ………dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu.
Secara khusus orang-orang muslim dilarang oleh Allah untuk mengadakan beberapa hubungan dengan orang-orang non muslim, diantaranya dalam berbagai hal mengenai:
1) Mengadakan hubungan perkawinan
Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah : 221 :
Artinya : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu…..
2) Memakan daging binatang sembelihan orang Non Muslim, karena disembelih bukan atas nama Allah. Sebagaimana firman Allah surat Al-Maidah ayat 3 :
Artinya : Diharamkan atas kamu memakan bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelihnya dengan nama yang lain dari nama Allah…..
3) Saling mewarisi
Muhammad SAW bersabda :
وَعَنْ اُسَامَةَابْنُ زَيْدِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَلَي عَنْهُمَا اَنَّ اَلنَّبِيُّ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلًّمَ قَا لَ: لاَيَرِ ثُ ا لمُسْلِمُ الْكَا فِرَوَلأَ يَرِثُ الْكَا فِرُا لْمُسْلِمَ (مُتَفَقٌّ عَلَيْهِ).
Artinya : Dari Usman bin Zaid R.A, Bahwasannya Nabi SAW bersabda, orang Islam tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang Islam (Mutafaqun alaih)
4) Mensholatkan mayat orang Non Muslim
Allah telah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 84 :
Artinya: Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. ……
Berdasarkan dalil-dalil di atas diperoleh keterangan bahwa sedekah/ memberikan bantuan itu tidak wajib bagi Non Muslim disebabkan tidak memiliki legitimasi identitas yakni seorang Muslim. Tentang sedekah dan segala perbuatan oarng-orang Non Muslim sedikit pun tidak ada faedah bagi dirinya di dunia dan di akherat kelak.
Hukum Non Muslim Memberikan Bantuan/Infaq
Menerima sumbangan, hadiah, sedekah dan wakaf dari orang-orang non muslim untuk kepentingan muslimin tidak ada salahnya, jika hal tersebut tidak mengikat dan tidak mewajibkan sesuatu imbalan, atau membawa akibat yang akan merugikan kaum muslimin. Maka dihukumkan sah wakaf mereka itu. Muhammad syafi’I Hadzami menjelaskan dalam bukunya sebagai berikut:
وَيَصِحًّ الْوَقْفُ مِنَ الْكَافِرِ وَلَوْ لِمَسْجِدٍ وَاِنْ لَمْ يَعْتَقِدْ قُرْبَةً
Artinya : Dan sah wakaf dari orang kaifr, walaupun untuk masjid, dan walaupun tidak dii’tiqadkannya ibadah.
Al-Buthy berkata bahwa “Diperbolehkan meminta bantuan orang musyrik asal tidak terkait urusan peperangan”. Sebagaimana disebutkan di atas, Rasulullah SAW mengutus Basyar ibn Sufyan ke Mekah untuk mencari berita tentang orang-orang Quraisy. Pada saat itu, Basyar adalah seorang musyrik yang berasal dari kabilah khuza’ah. Tindakan Rasulullah ini menegaskan pernyataan kami sebelumnya, bahwa hukum meminta bantuan kepada orang musyrik mengikuti sifat dan kondisi orang yang akan dimintai bantuannya. Arti kata lain, jika orang musryrik yang bersangkutan diketahui memiliki sifat terpercaya dan tidak dikhawatirkan akan berkhianat atau menipu, itu diperbolehkan. Tetapi, jika keadaannya tidak demikian, meminta bantuan kepadanya dihukum terlarang. Secara garis besar, dapat diketahui bahwa dalam setiap kejadian penting. Rasululah SAW, sering meminta bantuan orang-orang non Muslim untuk urusan di luar perang. Contohnya, ketika beliau mengirim mata-mata ke wilayah musuh, meminjam senjata dari orang kafir, dan sebagainya. Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa permintaan bantuan kepada non muslim dalam hal-hal damai tentu lebih diperbolehkan daripada dalam perkara peperangan.
Wahbah Az-Zuhaili berpendapat Kalangan Syafi’iyyah membolehkan wakaf orang kafir meskupun untuk masjid dan sedekah-sedekahnya mendapatkan pahala di dunia. Namun, mereka tidak mendapatkan bagian pahala di akhirat. Hal ini karena hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Anas bin Maluk, dia berkata, Rasulullah SAW. Bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَةً يُعْطَى بِهَا فِى الدُّنْيَا وَيُجْزَى بِهَا فِى الآخِرَةِ وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِ مَا عَمِلَ بِهَا لِلَّهِ فِى الدُّنْيَا حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الآخِرَةِ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ يُجْزَى بِهَا ».
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak menzalimi orang Mukmin. Di dunia dia diberi kebaikan dan dibalas dengan kebaikan pula di akhirat. Sedangkan orang kafir, mereka diberi rezeki dunia. Sampai ketika di akhirat, tidak ada kebaikan yang dibalaskan untuknya.
Wakaf orang yang terpaksa. Kalangan Syafi’I, Maluki, dan Hambali mensyarakatkan orang yang wakaf hendaklah mereka bebas. Oleh karena itu, wakaf orang yang terpaksa tidak sah, sebab ucapan-ucapannya tidak sah. Wakaf orang buta. Wakaf tidak disyaratkan melihat. Oleh karena itu, wakaf orang buta hukumnya sah, karena ucapannya sah juga. Wakaf barang yang tidak dilihat. Barang yang diwakafkan tidak disyaratkan diketahui oleh orang yang wakaf. Oleh karena itu, wakaf barang yang tidak dilihat hukumnya sah, sebagaimana diterangkan oleh kalangan Syafi’i.
Menurut hukum fiqih, organisasi Islam menerima bantuan non muslim itu boleh. Tetapi ditinjau dari sudut tasawwuf, sebaiknya jangan sampai menerima bantuan dari non muslim, apa lagi memintanya. Sebab biasanya bantuan dari non muslim tersebut membawa pengaruh yang negatif.
Lebih-lebih jika bantuan itu diperoleh dengan cara yang tidak halal. Perhatikan pondok-pondok pesantren dan madrasah-madrasah yang telah menerima bantuan dari luar kalau mutunya tidak merosot, maka barokahnya yang hilang.
Hukum bantuan non muslim untuk pembangunan masjid, musholla, pondok pesantren dan sebagainya, maka MUI Propinsi DKI Jakarta memfatwakan hukum masalah tersebut, sebagai berikut :
1. Panitia pembangunan masjid diperbolehkan menerima sumbangan atau bantuan dari orang-orang non muslim; baik berupa uang, bahan bangunan maupun tenaga yang dimanfaatkan untuk pembangunan masjid: Sumbangan atau bantuan tersebut diperbolehkan, dengan syarat tidak mengikat dan tidak dijadikan sarana untuk menimbulkan bahaya (dlarar) atau fitnah, baik bagi umat Islam maupun bagi masjid itu sendiri.
Menurut pendapat yang paling shahih (valid) bahwa, orang kafir diperbolehkan membantu pembangunan masjid dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan pembangunan masjid seperti menjadi tukang batu dan tukang kayu. Karena hal ini tidak termasuk larangan yang termaktub pada ayat di atas (Surat at-Taubat ayat 17 -18). Akan tetapi, orang kafir tidak boleh menjadi pengurus masjid (ta’mir masjid), atau pengurus Yayasan Wakaf Masjid… Demikian juga, orang kafir diperbolehkan membangun masjid atau memberikan bantuan dana pembangunan masjid dengan syarat hal itu tidak dijadikan sarana untuk menimbulkan bahaya (dlarar). Jika dijadikan sarana untuk menimbulkan bahaya atau fitnah, maka hal itu dilarang karena sama dengan masjid dlirar (masjid yang dibangun oleh orang-orang munafiq di Madinah pada masa Rasulullah untuk memecah belah umat Islam).
2. Sungguh pun orang-orang kafir (non muslim) telah membantu pembangunan masjid, mereka tidak diperbolehkan menjadi pengurus ta’mir masjid, pengurus yayasan wakaf masjid, atau pengurus di sektor lain yang terkait dengan usaha-usaha memakmurkan masjid. Karena hal itu hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang beriman. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat at-Taubah ayat 17-18:
مَا كَانَ لِلمُشْرِكِينَ أَن يَعْمُرُواْ مَسَاجِدَ الله شَاهِدِينَ عَلَى أَنفُسِهِمْ بِالكُفْرِ أُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ . إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ المُهْتَدِينَ. التوبة
Artinya: Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. ltulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (At-Taubah, 9:17-18).