Ketika fajar masih terlelap, si Budi kecil pun sudah harus terbangun untuk bersiap-siap mengantarkan koran. Baik koran yang berlangganan maupun koran yang dijajakannya di pinggir jalan dan lampu merah.
Pagi itu kira-kira masih pukul jam setengah empat, azan subuh pun belum terdengar. Hanya pekikkan ayam jago yang telah menggelegarkan dunia. Si Budi sudah bangun, kemudian mandi, setelah itu dia menunaikan salat malam dengan sarung kusutnya. Sedikit masih terasa mengantuk, si Budi membaca koran sisa jualan kemarin. Si Budi suka membaca pada bagian olah raga, sepak bola khususnya.
Setelah menunaikan salat subuh, si Budi kemudian bersiap-siap untuk mengambil koran di agen tempat dia biasa mengambil koran. Dengan tidak menghiraukan rasa dingin di pekatnya pagi dan juga rasa takut karena jalan yang dilaluinya masih agak gelap. Dengan penuh semangat si Budi pun melangkahkan derap kakinya menuju rumah si agen koran.
Setelah sampai, si Budi pun mengambil susunan korannya satu-persatu. Dia rapihkan agar lebih mudah membawanya. Ada sekitar dua ratus eksemplar setiap hari si Budi harus mengantar koran ke langganannya dan menjajakannya di pinggir jalan dan lampu merah. Semua itu dia lakukan hanya bermodal sandal jepit dan topi merah yang dia temukan di tempat sampah.
Hidup sebatang kara membuat si Budi lebih dewasa untuk menjalani hidupnya. Ayahnya meninggal ketika dia masih di dalam kandungan, sedangkan ibunya meninggal setelah melahirkannya. Dia dibesarkan oleh pamannya yang dirasa jahat dan ringan tangan (suka memukul) terhadapnya. Sehingga dia lebih memilih menjadi anak jalanan yang tinggal di gubuk reot di pinggir bantaran sungai.
Meskipun tidak mengenyam dunia pendidikan formal, tetapi si Budi mengikuti pendidikan non formal yang ada di sekitar tempat bermainnya. Di sana dia belajar dari kakak-kakak relawan dari salah satu Perguruan Tinggi di kota tempat tinggalnya tersebut. Si Budi tergolong anak yang pandai, dia cukup cepat mengerjakan soal-soal matematika yang diberikan pembimbingnya. Semua itu dia lakukan ketika koran-koran sudah terjual. Kadang-kadang jika koran sampai malam belum habis, dia tidak bisa mengikuti pembelajaran.
Pada suatu pagi si Budi pergi dengan semangatnya menjajakan koran. Di suatu tikungan dia bertemu dengan seorang pengemis yang buta matanya. Tiba-tiba ada sekelompok anak muda yang melempar pengemis tersebut dengan batu. Pada waktu itu si Budi kebetulan lewat dengan berteriak keras untuk menjajakan korannya.
“Koran….!!! Koran…..!!! Koran….!!!
Akhirnya si Budi lah yang menjadi korban. Dia dituduh melempari pengemis yang ada di tikungan tadi. Sial sungguh sial nasib si Budi, tetapi dengan tegarnya si Budi meminta maaf kepada pengemis tersebut. Walaupun pengemis tersebut tidak memaafkan si Budi.
Keesokan harinya, si Budi kembali lewat di tikungan yang kemarin dia lewati. Dia mendengar suara pengemis yang kemarin dilempari batu oleh anak-anak nakal yang tidak bertanggung jawab.
“Hati-hati saudaraku, ada tukang koran jahil dan jahat…!!!!”
Perkataan itupun diulang-ulanginya terus menerus. Sampai-sampai semua orang hafal dengan perkataan tersebut.
Dengan tenangnya si Budi menghampiri pengemis tersebut. Dia berikan sebungkus roti yang telah dia beli buat sarapan pagi tadi di sebuah warung. Dia pun menyuapinya dengan melembutkannya terlebih dahulu dengan air yang dibawanya dari botol minumnya. Maklumlah ternyata pengemis tersebut sudah terlalu tua dan gigi-giginya sebagian telah hilang.
Dengan sabarnya si Budi menyuapi pengemis tersebut layaknya orang tua dia sendiri. Setelah selesai si Budi pun diberi pesan dari pengemis tersebut.
“Nak…, hati-hati ya…. di daerah sini ada penjual koran yang jahil dan jahat…!!”
Si Budi pun dengan santainya menjawab: “Iya pak, saya akan berhati-hati”
Mendengar pembicaraan mereka berdua, orang-orang yang lewatpun hanya tersenyum menatap kami berdua.
Ke esokan harinya pun si Budi mengulangi hal yang sama, yang dia lakukan di hari sebelumnya. Tanpa memperdulikan perkataan pengemis yang jika dirasa sangat menyakitkan hati. Memang banyak orang yang lewat di tikungan tersebut yang memberi sebagian uangnya ke pengemis tersebut, tetapi tidak ada yang seperhatian yang dilakukan si Budi.
Hingga suatu saat si Budi menjajakan korannya di lampu merah yang bisa dikatakan ramai dilalui oleh kendaraan bermotor. Pada saat itu hujan turun dengan derasnya, namun si Budi tetap melanjutkan berjualan korannya dengan bermodalkan tas pelastik untuk melindungi koran-korannya.
Pada waktu itu ada seseorang yang mengulurkan selembar uang lima puluh ribuan, kemudian si Budi mengulurkan koran yang dia bawa. Tetapi dia sangat terkejut ketika pembeli tadi berkata: “Sudah bawa saja uangnya, sana pulang sudah sore, dan juga hujannya sangat lebat”. Si Budi pun hanya bisa termangu diam sejenak, kemudian menjawab: “Iya Pak, terimakasih”
Dalam hati si Budi berkecamuk rasa bingung dan sedih. Dia pun berkata dalam hati: “Apa bedanya saya dengan pengemis yang ada di tikungan itu??!!”
Tetapi si Budi pun terus mencoba untuk melupakan kejadian yang dialaminya tadi. Sambil terus berjalan menyusuri jalanan kota dengan sandal jepitnya.
Ke esokan harinya si Budi pun menemui pengemis tua yang ada di tikungan jalan. Dengan sabarnya dia pun membawakan sepotong roti, kemudian menyuapinya sama dengan yang dilakukannya pada hari-hari sebelumnya. Tetapi kali ini ketika pengemis tersebut mencacinya, si Budi pun berkata dengan seolah-olah dia merasa dia telah banyak melakukan kesalahan terhadap pengemis tersebut. Dia pun berkata: “Pak maafin saya ya Pak, kalau selama ini saya banyak melakukan kesalahan”. Pengemis tesebut pun menjawab: “Iya nak, kamu tidak pernah bersalah, justru kamu sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri.
Si Budi pun lega mendengarnya. Dia pun beranjak pergi menjajakan koran setelah berpamitan dengan pengemis tersebut.
Pada waktu itu hujan kembali turun dengan derasnya. Jarak pandang pun sekarang hanya sekitar dua meter saja. Sebenarnya sangat berbahaya bagi si Budi untuk berjualan di pinggir jalan. Tetapi apaboleh dikata, soalnya koran belum laku semuanya, bahkan masih tersisa seratus eksemplar. Si Budi sangat takut untuk pulang, karena jika koran tidak habis semua dia bisa dimarahi agen tempat koran yang dia ambil. Biasanya jika koran tidak habis terjual si Budi harus mengganti sejumlah uang dari koran yan tersisa.
Tidak disangka dan tidak diduga-duga, tiba-tiba ada sebuah mini bus yang lewat dengan kencangnya. Pada waktu itu kebetulan si Budi pun tidak melihatnya, sehingga mobil tersebut pun menabrak tubuh mungil si Budi. Si Budi pun terpental hingga sejauh sepuluh meter dari tempat kejadian. Nyawa si Budi pun tidak tertolong lagi, meskipun warga membawanya ke rumah sakit terdekat. Meski begitu tubuh mungil itu masih terlihat utuh bagus, dan senyum indah pun masih terpampang di bibirnya.
Kini si Budi telah meninggalkan dunia yang telah banyak memberikan arti kehidupan baginya. Hingga pada suatu saat pengemis yang ada di tikungan, tempat si Budi biasa memberi roti dan menyuapi pengemis tersebut, menghampiri salah seorang yang lewat di hadapannya seraya berkata: “Nak kamu tahu tidak tentang anak yang sering datang membawakan ku roti dan menyuapiku?”
“Kemana ya Dia? Sudah beberapa hari ini dia tidak datang menghampiriku”.
Sang Pejalan kaki pun menjawab: “Pak…, anak itu sudah meninggal dunia, beberapa hari yang lalu dia berjualan koran di lampu merah yang ada di tikungan sebelah sana, kemudia dia tertabrak mobil hingga tewas.”
Betapa terkejutnya pengemis tersebut, ternyata anak yang selalu datang memberikan roti dan menyuapinya itu adalah tukang koran yang selalu dia hina dan hujat sepanjang hari. Dengan penuh penyesalan dan derai air mata pengemis tersebut pun berkata dalam dirinya: “Maafkan aku wahai anak muda, semoga engkau tenang di alam sana”. Terus dan terus menangis pengemis tersebut sambil berujar kata-kata yang sama.