Pagi itu di kala sang jago berkokok nyaring mentari pun terbangun dari tidur lelapnya. Segera dia beranjak dari tempat tidurnya untuk madi dan membersihkan diri. Menyibak daki dan mengusap wangi. Bergegas untuk mengejar hari demi cita-cita suci yang selalu mengusik tidur lelapnya. Tanpa menu di atas piring, segera dia kayuh sepeda tuannya menuju sebuah sekolah tua tempat anak-anak bangsa menggapai ilmu merangkai asa.
Mentari adalah guru bahasa inggris di sekolahnya. Dia merupakan sarjana terbaik di kampusnya. Sehingga dia memiliki kapabilitas yang cukup baik dalam bidang ilmunya. Sehingga anak-anak didiknya pun senang jika dia yang mengajar di kelas. Selalu disambut dengan salam ceria oleh anak-anak didiknya.
Memiliki wajah manis dan sedikit berwibawa. Tubuhnya tinggi melebihi gadis-gadis umumnya. Kuat dan atletis tergambar di lengan bahunya. Banyak pria-pria buaya yang selalu menggodanya. Maklumlah mentari adalah gadis menawan dan ramah orangnya. Dia selalu menyapa ketika berpapasan dengan orang lain, sehingga dia memiliki banyak teman. Selain itu orangnya mudah berteman dengan sesama.
Sebenarnya mentari adalah anak orang berada. Ayahnya seorang pengusaha batu bara dan ibunya adalah seorang pengusaha jual beli mobil mewah. Tetapi dia rela mengabdikan hidupnya untuk anak-anak di daerah pedalaman. Mentari memang mempunyai jiwa sosial yang tinggi. Itu semua sudah terlihat dari sejak sekolah menengah pertama. Dia sering mengikuti organisasi-organisasi sosial yang ada di sekolahnya.
Pada suatu hari ketika mentari mengajarkan bahasa inggris di kelasnya, tiba-tiba ada salah seorang anak muridnya menangis tersedu-sedu.
“Kenapa kamu Suni??”
“Apa kamu sedang sakit?”, tanya mentari kepada Suni muridnya
“Tidak Bu, saya hanya merasa sakit di bagian lengan tangan saya”, jawab si Suni.
“Ya sudah, sekarang kamu istirahat dahulu, biar tanganmu sembuh’, perintah mentari
Suni pun segera beranjak untuk beristirahat.
Kemudian di akhir waktu sekolah, Mentaripun mendekati Suni. Dia pun mencoba untuk menenangkan Suni. Diusapnya lengan mungil Suni dengan minyak angin yang dibawanya. Alangkah terkejutnya Mentari ketika melihat luka-luka yang ada di sekujur tubuh Suni. Hampir seluruh lengannya memerah biru.
“Lenganmu habis jatuh ya?”, tanya Mentari
“Tidak Bu, kemarin aku habis menanam singkong di kebunku”, jawab Suni
“Tetapi kok bisa sampai seperti itu”, tanya Mentari semakin penasaran.
Sunipun menangis tidak bisa menjawab. Perlahan-lahan diusapnya air mata Suni oleh mentari. Dihiburnya Suni dengan sabar. Sambil mencoba mencari informasi tentang Suni yang sebenarnya.
Akhirnya mentaripun mengantarkan pulang Suni ke rumahnya. Ternyata rumah Suni cukup jauh dari sekolahnya, ada sekitar tiga kilo meter jauhnya. Rumah Suni kecil dan terbuat dari papan-papan panjang, serta berbentuk panggung. Betapa terkejutnya Mentari ketika melihat keadaan di dalam rumah Suni. Ternyata Suni tinggal dengan neneknya yang sudah tua dan sedang sakit kakinya. Tanpa listrik dan perabot mewah yang ada seperti di rumah Mentari. Hidup apa adanya dan tanpa kemewahan.
Tiba-tiba sang nenek pun memanggil Suni.
“Sun…., sudah pulang kamu?”
“Udah nek…”, jawab Suni
“Pulang sama siapa kamu?”, tanya nenek.
“Ini nek, Ibu guru Mentari, guru bahasa Inggris Suni nek”, jawab Suni
Mentari pun mendekati nenek Suni. Akhirnya mereka berdua bercerita panjang lebar. Sang nenek menceritakan bahwa sesungguhnya kedua orang tua Suni sudah meninggal dan Suni pun bekerja di salah satu perkebunan singkong di dekat rumahnya. Ternyata Suni sering mendapat perlakuan kasar oleh bosnya. Suni sering dipukuli oleh bosnya, karena kedapatan kerjanya tidak sesuai target operasi.
Suni yang masih kecil, dan tidak berdaya harus bekerja keras menghidupi diri dan neneknya. Anak sekecil itu harus berjuang keras menerjang kerasnya karang kehidupan. Bahkan harus selalu menerima siksa dari bosnya yang jahat.
Berbeda cerita dengan mentari yang selalu hidup bahagia dan segala kemewahan yang selalu ada. Dengan orang tua yang berada, mentari tinggal meminta saja bisa.
Dalam hati Mentari berjanji untuk akan selalu berbuat yang terbaik bagi dirinya dan orang lain. Akan selalu bersyukur atas segala fasilitas yang dimiliknya selama ini. Dan dia berharap tidak ada lagi Suni-Suni yang lain di dunia ini. Yang harus bercengkrama dengan duka di setiap hari-harinya.