Oleh: Hanwar Priyo Handoko
Ayyaam adalah jamak dari al-yaum yang berarti hari; sementara bidh itu artinya putih. Ayyaamul Bidh artinya adalah hari-hari putih atau cemerlang atau purnama. Islam menyunnahkan hari-hari ini untuk melakukan puasa 3 hari, yakni tanggal ke-13, 14 dan 15 dari penanggalan Hijriyyah. Tidak diterangkan apa alasannya puasa di hari-hari tersebut, tetapi menurut sebuah penelitian; Tengah bulan qomariyah biasanya diterangi oleh sinar bulan yang bulat penuh. Puncak fenomena pasang surut air laut terjadi di tanggal-tanggal ini, seiring pasang surutnya sisi kejiwaan manusia (Arnold Lieber, 1970-an) dan orang cenderung berbuat lebih banyak keburukan pada bulan purnama.
Sungguh suatu yang tidak kebetulan bahwa ajaran yang telah disampaikan 1500-an tahun sebelum penelitian tersebut oleh Rasulullah saw. ternyata mempunyai arti pengendalian diri yang luar biasa. Rasulullah saw. memahami bahwa hari-hari di bulan purnama merupakan hari-hari kelabilan emosi manusia dan untuk mengantisipasinya, Rasulullah saw. menganjurkan umatnya untuk berpuasa di hari-hari tersebut sebagai bentuk penyeimbang dan menetralisir magnitut potensi manusia berbuat keburukan.
Sungguh sunnah rasulullah saw. untuk ayyamul bidh pada tanggal 13, 14, dan 15 (bulan purnama) memberikan makna dan hikmah besar bagi manusia.
Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah:
أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَتْ نَعَمْ. قُلْتُ مِنْ أَيِّهِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ كَانَ لاَ يُبَالِى مِنْ أَيِّهِ صَامَ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).”. Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid.
Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ
“Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.”
Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut.