Menu
Lets Bright Together!

Tindak Pidana dalam Penganiayaan

Oleh: Hanwar Priyo Handoko (Pemerhati Sosial dan Pendidikan)

Penganiayaan adalah tindak pidana yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian dan kerusakan bagi korban. Hal tersebut bertentangan dengan tujuan dari syariat Islam yang melindungi hak dan keselamatan individu, baik keselamatan agama, jiwa, akal, harta dan kehormatan.
Dilihat dari perspektif hukum pidana Islam, penganiayaan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila telah memenuhi unsur-unsur meteriil tindak pidana yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Perbuatan haram yang dilakukan oleh pelaku.
b. Adanya akibat yang membahayakan yang muncul dari perbuatan. Tindak kejahatan tidak dianggap kejahatan penuh apabila tidak mendatangkan akibat yang membahayakan. Akibat inilah yang secara prinsip menjadi sasaran pencegahan agar jangan sampai akibat ini terjadi dengan menetapkan hukuman.
c. Hubungan kausalitas antara perbuatan yang dilakukan dengan akibat yang dihasilkan. Seseorang tidak dikenai sanksi bila tidak terbukti secara nyata bahwa akibat yang membahayakkan itu berkaitan erat dengan perbuatan yang dilakukannya. (Sa’id Hawa, 2009: 400)

Mencermati tiga macam uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa penganiayaan setidaknya telah memenuhi dua rukun materiil tindak pidana, yaitu perbuatan yang diharamkan, dan adanya akibat yang dapat membahayakan korban. Selanjutnya apabila terbukti, maka pelaku penganiayaan dapat dikenai hukuman, sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukannya.
Hubungan kausalitas sebagai unsur materiil tindak pidana di atas mengandung implikasi bahwa kerugian dan penderitaan korban adalah tanggung jawab yang harus diterima oleh pelaku penganiayaan. Hal tersebut dikarenakan kerugian dan penderitaan tersebut akibat dari tindakan pelaku. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa seseorang yang terbukti merugikan pihak lain, walaupun dalam bentuk sekecil apa pun, harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, karena telah melanggar hak dan kemaslahatan orang lain, sebagaimana jaminan yang telah diberikan oleh syariat Islam. Penganiayaan walaupun tidak menyebakan hilangnya nyawa korban, namun menimbulkan penderitaan fisik dan psikologis korban. Perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang dilarang oleh syariat Islam.
Ancaman hukuman bagi pelaku penganiayaan ada dua macam, yaitu:
a. Hukuman pokok, yaitu qishas atau balasan setimpal. Hal ini berlaku bila qishas atau balasan setimpal dapat dilasanakan, tidak melebihi dan tidak kurang.
b. Hukuman pengganti. Hukuman pengganti diberlakukan bila penganiayaan telah dimaafkan oleh pihak korban atau keluarganya; dan juga bila qishas tidak dapat dilakukan karena tidak terukur penganiayaan tersebut. Hukuman pengganti yang dimaksud di sini adalah diyat yang jumlahnya berbeda antara kejahatan yang satu dengan kejahatan lainnya. (Amir Syarifudin: 270-271)

Berdasarkan uraian di atas, maka pelaku penganiayaan dapat dikenai hukuman qishas atau diyat. Qishas dilakukan apabila akibat yang ditimbulkan dari penganiayaan tersebut terukur sehingga dapat dibalas secara setimpal, tidak berlebihan dan tidak kurang sebagaiman prinsip dasar dari qishas. Sedangkan diyat dilakukan apbila pelaku penganiayaan telah dimaafkan oleh korban atau keluarganya, atau dikarenakan luka yang diakibatkan dari penganiayaan tidak terukur.
a) Qishas bagi Pelaku Penganiayaan
Ibrahim Unais sebagai dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich mendefinisikan qisash sebagai berikut:
”أَلْقِصَاصُ هُوَ أَنْ يُوْقِعَ عَلَى الْجَانِيْ مِثْلَ مَا جَنىَ
Qishash adalah menjatuhkan hukuman kepada pelaku pesis seperti apa yang dilakukannya.” (Ahmad Wardi Muslich, 2004:149)
Hukuman qishash dilakukan apabila penganiayaan memenuhi syarat qishas dan apabila pelaku tidak mendapat kemaafan dari korban, atau ahli warisnya, jika korban masih belum baligh. Apabila korban memberi maaf, atau semua ahli waris sepakat memafkan, maka pelaku dikenakan hukuman pengganti, yaitu diyat.
Menurut Sayyid Sabiq, syarat berlakunya hukuman qishas bagi pelaku tindak pidana selain jiwa (penganiayaan) adalah sebagai berikut:
1. Pelaku berakal
2. Sudah mencapai umur baligh
3. Motivasi kejahatan disengaja
4. Hendaknya darah yang dilukai sederajat dengan darah orang yang melukai.

Berdasarkan syarat qishas di atas, maka orang mukmin yang melakukan penganiayaan terhadap orang kafir harbi (kafir yang memusuhi umat Islam) tidak dikenai qishas, karena tidak sederajat darahnya dalam pandangan Allah.
Lebih lanjut berkaitan dengan qishas bagi pelaku penganiayaan Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini mengatakan sebagai berikut:
Luka kadang-kadang dapat terlihat dengan jelas, dan kadangkala tidak jelas. Jika luka itu terlihat dengan jelas, ada kalanya terlihat jelas dari batas persendian, dan kadangkala tidak. Jika luka tidak jelas dari batas persendian, maka tidak diqishas karena tidak diyakini perimbangannya.

Memahami pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa luka akibat penganiayaan yang tidak jelas terlihat, tidak dikenai hukuman qishas. Luka akibat penganiayaan yang mewajibkan pelakunya diqishas, apabila terlihat jelas (menganga) dan terukur ke dalamannya, yaitu apabila mengenai tulang. Jika tidak menganga atau tidak mengenai tulang, maka kedalamannya tidak jelas, sehingga tidak diqisahs, karena sulit melakukan hukuman yang setimpal.
Penganiayaan yang menyebabkan luka pada diri korban tidak serta merta menyebabkan pelakunya dikenai qishas, tetapi harus pula dilihat bentuk lukanya, sehingga memungkinkan dihukum secara sepadan. Wahbah Zuhaili mengatakan sebagai berikut:
Tindak pencederaan yang menyebabkan luka yang tidak mengenai tulang, seperti luka tusuk dan luka yang tidak menggores batok kepala, atau pencederaan terhhadap tulang seperti memecahkan tulang pergelangan atau lengan, meretakkan tulang, dan menyebabkan sendi terkilir, tidak wajib qisahas. Karena dalam kasus ini sulit untuk menjatuhkan sangsi hukum yang sama dan dikhawatirkan terjadinya balasan yang berlebihan.
Memahami uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa penganiayaan yang tidak jelas lukanya, seperti meretakkan tulang, dan menyebabkan sendi terkilir, maka pelakunya tidak dikenai hukuman qishas (sepadan).
Lebih lanjut tentang qishas bagi pelaku penganiayaan, Wahbah Zuhaili menjelaskan sebagai berikut:
Walhasil, qishas luka hanya berlaku pada luka menganga di kepala, wajah, dada, lengan, jari, dan anggota tubuh lainnya. Luka-luka seperti ini dinamakan mudhihah, karena tulang anggota badan yang terluka tersebut terlihat. Pelakunya wajib diqisas karena sangat mungkin dilakukan sangsi sepadan.

Kutipan di atas merupakan penegasan dari penjelasan sebelumnya, bahwa pelaku penganiayaan dikenai hukuman qishas apabila luka yang ditimbulkan dari penganiayaan tersebut menyebkan tulang anggota badan terlihat jelas (mudhihah). Berkaiatan dengan hal tersebut, Sayyiid Sabiq menjelaskan sebagai berikut:
Penjelasan mengenai anggota tubuh yang wajib terkena qishas dan yang tidak, ialah setiap anggota yang mempunyai ruas (persendian) yang jelas, seperti siku dan pergelangan tangan. Daerah tersebut wajib terkena qishas. Adapun anggota tubuh yang tak bersendi tidak terkena qisahs, sebab pada yang pertama mungkin bisa dilakukan persamaan, tetapi yang kedua tidak.

Berdasarkan pendapat di atas, maka qishas hanya berlaku apabila anggota tubuh yang terluka mempunyai persendian yang jelas. Dengan demikian orang yang memotong jari diqishas pada persendian jarinya, dan orang yang memotong tangan diqishas pada pergelagan tangannya.